Malam
itu di kota Surabaya, suasana amatlah sepi dan sunyi. Tak seperti biasanya.
Langit pun terlihat gelap. Bulan dan Bintang nampaknya enggan memancarkan sinar
sedikitpun. Mereka memilih bersembunyi di balik kegelapan malam. Di balik tirai,
aku duduk seorang diri di atas kasur. Diam dan termenung, merasakan dinginnya
malam yang merasuk ke pori-pori tubuhku. Entah apa yang ada di pikiranku saat
ini. Pikiranku bagaikan melayang ke luar angkasa mengelilingi planet-planet
tanpa arah dan tujuan. Aku tertunduk, menangis sesengguhkan teringat masalah
yang datang menghampiriku.
Seminggu
yang lalu, Ibu telah menghadap sang Ilahi. Karena kepergiannya, Ayahku sangat
terpukul sehingga aku pun diabaikan dan jarang diberi kasih sayang seperti
dulu, Sahabatku tidak pernah memperdulikanku, mereka sibuk mengurusi urusannya
masing-masing, dan besok ayahku akan pergi ke Malang karena pekerjaannya
dipindah ke sana untuk selamanya. Aku dan Ayah akan pindah rumah disana, mau
tidak mau aku juga harus ikut Ayah ke Malang.
Lamunanku
terpecah saat Adzan Isya’ telah dikumandangkan.
Aku bangkit dari kasur menuju kamar mandi dengan mata yang masih bengkak. Ku putar kran air dan aku berwudlu. Hatiku rasanya tenang dan raut wajahku terlihat segar kembali setelah berwudlu. Ku tunaikan sholat Isya’ sendirian lalu ku lanjutkan dengan berdoa dan tak lupa mengaji. Ku ambil Al-Qur’an di atas meja bersama buku-buku yang lainnya. Aku membaca dengan tenang. Di tengah-tengah aku membaca Al-Qur’an, mataku terasa berat, sepertinya sudah waktunya untuk istirahat. Aku pun mengakhiri ngajiku lalu tidur.
Aku bangkit dari kasur menuju kamar mandi dengan mata yang masih bengkak. Ku putar kran air dan aku berwudlu. Hatiku rasanya tenang dan raut wajahku terlihat segar kembali setelah berwudlu. Ku tunaikan sholat Isya’ sendirian lalu ku lanjutkan dengan berdoa dan tak lupa mengaji. Ku ambil Al-Qur’an di atas meja bersama buku-buku yang lainnya. Aku membaca dengan tenang. Di tengah-tengah aku membaca Al-Qur’an, mataku terasa berat, sepertinya sudah waktunya untuk istirahat. Aku pun mengakhiri ngajiku lalu tidur.
Selang
waktu 1 jam setalah aku tidur tiba-tiba bunga tidur datang menghampiriku. Aku
bermimpi bahwa Aku dan Ayah tidak bahagia saat sudah hidup di Malang. Aku pun
tidak mempunyai teman sejati yang bisa memahamiku. Aku terperanjat lalu
terbangun, air mataku menetes laksana air hujan yang begitu deras dan tak
henti-hentinya mengalir. Tapi Aku tersadar, besok aku akan berangkat ke Malang,
air mataku reda perlahan dan aku melanjutkan tidurku. Kali ini tidurku begitu
nyenyak, tak ada bunga tidur yang datang menghampiriku lagi.
Jam
Alarm telah berbunyi, mataku terbuka. Ku lihat masih pukul 4 pagi. Aku bangkit
dengan mata masih sayup menuju kamar mandi. Sesudah mandi dan wudlu, sambil
menunggu adzan subuh, aku mengambil koper untuk menyiapkan semua barang-barang
yang akan aku bawa untuk pindahan. Tepat setelah aku selesai mempersiapkan
semuanya, adzan Subuh telah berkumandang. Aku melakukan sholat subuh dan
kulanjutkan dengan mangaji seperti biasanya. Di saat aku mengakhiri mengaji,
ada orang yang mengetuk pintu kamarku. Aku menaruh Al-Qur’an pada tempatnya dan
segera membukakan pintu kamarku. “kreek..” suara pintu saat aku buka. Ternyata
Ayahku. Belum sempat aku bertanya ada apa, Ayahku sudah mendahuluinya “cepat ke
bawah, kita akan berangkat setalah makan pagi.”
“iya yah.” Sahutku
Aku
memastikan semua barang tidak ada yang tertinggal. Setelah itu aku turun untuk
makan pagi. Aku dan Ayah makan seadanya. Di meja makan Aku dan Ayah hanya diam,
tidak berkata apa-apa. Setelah selesai, Ayah keluar rumah duluan untuk
mempersiapkan kendaraan. Aku bangkit dari kursi, ku pandangi sekeliling rumah,
andai Ayah tau, saat ini hatiku sedang menjerit seolah tak mau meninggalkan
rumah ini. Rumah yang aku tempati dari kecil bersama keluargaku, banyak
kenangan di sini, dan sekarang aku meninggalkannya. Tapi aku tak bisa berbuat
apa-apa. Andaikata kita tidak pindah, kita tak bisa hidup karena saat ini
pekerjaan Ayah ada di Malang. Aku terhentak saat Ayah memegang pundakku dari
belakang. “Ayo tunggu apa lagi. Kita berangkat sekarang.” Aku menoleh pada Ayah
seraya berkata “Iya yah.” Kita berdua pun berangkat. Selama perjalanan aku
tertidur di mobil.
Perjalanan dari Surabaya ke Malang kira-kira 3 jam. Aku
dan Ayah tiba disana sekitar pukul 9. Aku sudah di depan rumah baruku. Rumahnya
tidak besar dan tidak kecil. Cukuplah untuk Aku dan Ayah. Rumah yang sederhana
dan bersih. Di sebelah rumah terdapat kolam ikan kecil, Masjid pun tidak jauh
dari rumah kami, bisa ditempuh dengan 5 langkah saja. Pasar swalayan juga dekat
dari sini. Menurutku rumah ini sangat strategis. Aku pun masuk ke rumah itu.
Ayah menunjukkan kamar buat aku. “Ini kamar kamu, gimana kamu senang gak
disini?” tanya ayah. “Iya yah, aku senang. Rumahnya bagus kok.” sahutku. Ayah
memelukku dan mencium keningku. Ayahku sekarang sudah perhatian lagi . Aku
sangat senang sekali. Tetapi seandainya masih ada Ibu, Aku akan merasa lebih
senang lagi. Tapi Aku tak bisa terus menyalahkan apa yang sudah ditakdirkan
kepada kita. Allah pasti memberikan yang terbaik untuk kita.
xxxxx
Keesokan harinya, aku diantar ayah ke sekolahku yang
baru. Dalam perjalanan menuju sekolah, hatiku berdegub kencang sekali. Mungkin
karena aku akan menjadi anak baru, yang belum mengenal siapapun jua di sana.
Aku sudah sampai di sekolahku yang baru yaitu SMA Hidayatulllah Malang.
Sekolah ini cukup bagus. Aku masuk ditemani Ayah menuju ruang Kepsek.
Selanjutnya aku diantar ke kelasku sedangkan Ayah berangkat bekerja.
“Anak-anak, ini ada teman baru
dari Surabaya. Silahkan nak perkenalkan dirimu”
Aku pun memperkenalkan diri
dengan groginya
“Perkenalkan nama saya Afirah
Cahyani. Panggil saja Afirah. Aku pindahan dari SMA Melati Surabaya.
Trimakasih”
“Silahkan duduk di bangku yang
kosong” ucap gurunya
“Iya, terimakasih Bu” sahutku
Aku pun duduk di sebelah cewek. Dia tersenyum kepadaku.
Namanya Annisa. Aku bercakap-cakap sebentar dengannya sekedar berkenalan karena
kita sedang pelajaran. Pelajaran yang amat ku sukai yaitu matematika. Bukan
hanya aku saja yang suka, ternyata Annisa pun suka matematika. Selama pelajaran
ini kita berdiskusi. Menyenangkan sekali mempunyai teman sepertinya. Saat
istirahat pertama, Annisa mengajakku ke mushola sekolah untuk sholat dhuha.
"wah baru pertama kali ada temanku yg mengajak sholat, di skolahku yg
dulu, sahabatku aku ajak sholat saja susahnya minta ampun" batinku dalam
hati. Aku dan Annisa menuju mushola dan kami sholat dhuha bersama.
Tak
terasa sudah hampir satu semester aku bersama Annisa. Meskipun hanya sebentar,
kita begitu akrab dan lengket seperti ada lemnya. Entahlah apa yang membuatku merasa nyaman bersahabat
dengannya. Tak seperti sahabat-sahabatku duu saat masih sekolah di Surabaya.
Mungkin inilah yang dinamakan sahabat sejati. Persahabatan yang dilandasi cinta
kepada Allah. Inilah kisah persahabatanku dengannya. Telah banyak pengalaman
suka maupun duka yang kita lewati bersama. Dan yang leih sering adalah
pengalaman yang tidak mengenakkan. Tapi inilah hidup, pasti ada yang
menyenangkan dan sebaliknya. Tiba-tiba pikiranku teringat saat-saat Aku dan
Annisa sudah jatuh tertimpa tangga pula. Pengalaman yang tak pernah ku sangka sebelumnya.
Suatu
saat
pernah aku dan Annisa kebabisan uang saku sedangkan Ayah sedang tidak
menjemputku les. Tanpa pikir panjang, Aku dan Annisa pun pulang dengan
jalan kaki.
Padahal jarak dari les ke rumah kita amatlah jauh. Di tengah perjalanan
kita bertemu dengan dengan anjing yang kabur dari pemiliknya. Kita amat
ketakutan. Aku dan Annisa bergandengan tangan lalu Kita lari terbirit
birit
bagaikan di kejar dinosaurus dan akan dimangsanya. Pikiranku melayang
membayangkan yang tidak-tidak. Tetapi syukurlah Allah masih berbaik hati
kepada kita berdua. Pada akhirnya
anjing itu berhasil dipegang pemiliknya. Hatiku sangat gembira dan
rasanya
plong. Aku dan Annisa pun melanjutkan perjalanan dengan hati yang
gembira. Kita
berjalan sambil berbicang-bincang dengan santainya, hingga tak tahu
kalau ada
orang gila yang akan mendekati kita. Orang itu telanjang alias tak
berbaju, dia
menghadap kami sambil tersenyum menggoda. “Anjing sudah berlalu,
gantinya orang
gila”, gumamku. orang gila itu mendekat sambil memegang2 kami. Aku pun
berjalan
semakin cepat dan lari ke kampung penduduk setempat. Setelah ku rasa
aman, kami
melanjutkan perjalanan pulang. "hari ini kita begitu sial" ucapku ke
Annisa. "Iya, tapi dengan begini kita bisa mengahadapi kesusahan ini
bersama." sahutnya. Baru. Sesaat kemudian terdengar suara yang membuat
jantung kami sempat mau copot. Suara nya seperti bom meledak. Kita
penasaran dan akhirnya menoleh. Tapi ternyata bukan bom melainkan
kembang api yang bertaburan di langit. Sumbernya dari sebuah pusat
perbelanjaan seperti mall yang sedang mengadakan acara. Kita pun
menikmati kembang api itu yang tanpa sepengetahuan kita ternyata hari
sudah hampir malam. Saat ku melihat jam tanganku, ternyata sudah jam
setengah 9 malam. Aku dan Annisa pun akhirnya melanjutkan perjalananku.
Aku sampai di rumah lebih dulu karena rumahku lebih dekat daripada
Rumah Annisa. Aku berpamitan pulang dulu ke Annisa.
Saat pikiranku melayang mengingat masa-masa itu, Annisa memecah lamunanku. "Hei Firah, ayo kita masuk Aula. Acara segera dimulai.". Lamunanku hilang seketika dan Kami langsung menuju Aula. Sekarang
adalah hari yang paling aku nanti-nantikan. Bukan hanya aku saja, tetapi semua
anak menantikannya. Hari ini dan tepat saat ini adalah pembagian ijazah. MC
yang membagikan ijazah sudah siap di atas panggung. Satu-persatu anak naik ke panggung
untuk mengambil ijazahnya. Dan di akhir acara, di umumkan 3 anak yang mendapat
nilai UNAS terbaik. Inilah saat-saat yang menegangkan. Pembawa acara membuka
lembaran yang bertuliskan nama anak-anak tersebut. Lalu membacakannya “Inilah
nilai siswa siswi terbaik angkatan tahun ini di SMA Hidayatullah.” Pembawa acara
diam sejenak dan semakin membuat anak-anak penasaran ingin mengetahuinya. Selang
beberapa menit MC melanjutkan lagi “Yang pertama adalah Annisa Aprillia dari
kelas XII IPA 1, yang kedua adalaaah Afirah Cahyani dari kelas XII IPA 1 juga
dan yang ketiga adalaaah Muhammad Rizky Pratama dari kelas XII IPS 2. Yang saya
panggil harap maju ke atas panggung.” Spontan semua orang yang ada di ruang itu
bertepuk tangan mendengarnya. Aku dan Annisa tak percaya. Tapi kita sangat
bersyukur. Kita berpelukan lalu naik ke atas podium bersama-sama. Kita diberi Piagam
penghargaan dari sekolah. Lalu kita mencium tangan Ibu Kepala Sekolah Kita. Setelah
itu ki turun dari panggung dan menemui orang tua kita masing-masing. “Selamat
ya nak. Ayah bangga mempunyai anak sepertimu firah” ucap ayah. “Iya yah. Ini semua
juga berkat ayah. Andai Ibu ada disini pasti aku sangat bahagia” sahutku. “Ibumu
disana pasti sangat bahagia denganmu nak.” Ucapnya. Aku memeluk Ayah dan
menangis bahagia. Ayah dan Aku pulang bersana dengan Annisa dan Ayahnya. Kita
bahagia sekali.
Mungkin
inilah jalan kehidupan yang ditakdirkan Allah. Kita tak pernah mengetahuinya
sedikitpun. Musibah adalah cobaan. Yang baik bagi kita belum tentu baik bagi
Allah. rencanaNya memang misterius. Tapi itu semua akan membuat kita bahagia.
Inilah hikmahnya aku pindah ke malang. Mempunyai sahabat yang sejalan denganku,
dan selalu mengingatkanku kebaikan. Inilah Sahabat Sejati yang membawa kita ke
jalan kebenaran ^_^
Ini Hanylah Kisah Fiktif
belaka.
Ditulis oleh Siti Novia Turrachmah
Sabtu, 5 Januari 2013 / 09:45 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar